AJARAN
KONFUSIANISME
(Tinjauan Sejarah)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Agama
konfusius atau biasa dikenal dengan agama Kong Hu Chu atau Konfusianisme adalah
agama tertua di Negara Cina. Negara Cina adalah sebuah Negara yang memiliki
sejarah panjang tentang berkembangnya ajaran-ajaran agama konfusianis tersebut,
tetapi agama tersebut bukanlah satu-satunya agama di Negara Cina, sebab Cina
memilki tiga agama. Tiga agama yang dimaksud di atas adalah agama Tao, Konfusius dan Budha.
Ketiga agama tersebut memang sangat berkaitan erat.
Agama Konfusius adalah sebuah agama yang mengajarkan kepada para pengikutya menuju sifat-sifat ideal manusia sebagai individu itu sendiri maupun dalam hidup bermasayarakat. Agama Konfusius itu sendiri juga telah memberikan kesan yang mendalam bagi kehidupan dan kebudayaan di Negara Cina, karena dalam agama tersebt terdapat beberapa ajaran yang mengarah tentang cinta, keramah tamahan, sopan santun dan filsafat ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama tersebut. Dalam makalah yang berjudul Ajaran Konfusianisme, tinjauan sejarah dan filsafat ini kami mencoba untuk membahas sejarah ajaran yang dibawa oleh Konfusius yang saat ini di puja sebagai dewa Konfusius, serta juga aliran ajaran tersebut.
Agama Konfusius adalah sebuah agama yang mengajarkan kepada para pengikutya menuju sifat-sifat ideal manusia sebagai individu itu sendiri maupun dalam hidup bermasayarakat. Agama Konfusius itu sendiri juga telah memberikan kesan yang mendalam bagi kehidupan dan kebudayaan di Negara Cina, karena dalam agama tersebt terdapat beberapa ajaran yang mengarah tentang cinta, keramah tamahan, sopan santun dan filsafat ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama tersebut. Dalam makalah yang berjudul Ajaran Konfusianisme, tinjauan sejarah dan filsafat ini kami mencoba untuk membahas sejarah ajaran yang dibawa oleh Konfusius yang saat ini di puja sebagai dewa Konfusius, serta juga aliran ajaran tersebut.
BAB II
TINJAUAN SEJARAH AJARAN
KONFUSIANISME
B. Pembahasan
Konfusius adalah nama Latin dari K’ung Tzu atau Kong Hu Tzu
atau biasa dibunyikan di Indonesia dengan agama Kong Hu Cu. Dia dilahirkan di
negeri Lu, yang saat ini merupakan provinsi Shantung, pada tahun 551 SM dari
sebuah keluarga yang sederhana, jujur, dan setia berbakti kepada Thian[1].
Kurang lebih setelah tiga tahun dari kematian Ibunya pada tahun 528 SM, dia
mengasingkan diri untuk belajar dan melakukan meditasi secara otodidak. Pada
usia 50 tahun, dia memasuki kehidupan masyarakat umum sebagai seorang Guru,
kemudian ditunjuk menjadi Kepala Hakim di kota Chung-Tu, dan segera pula
diangkat menjadi Menteri Pekerjaan dan Pengadilan. Keadilan yang diterapkan
oleh Konfusius secara tegas sehingga membuat negara menjadi tenteram
menyebabkan musuh-musuhnya semakin gencar untuh menjatuhkan dia dari
jabatannya, pada tahun 497 SM Konfusius terpaksa meninggalkan negerinya dan
pergi mengembara. Selama 14 tahun dia pergi dari satu tempat ke tempat lainnya
bersama para murid-muridnya yang setia. Hingga akhirnya dia diidzinkan kembali
ke negaranya pada usia 68 tahun. Dia menghabiskan sisa umurnya untuk
mengajarkan pahamnya dan meneliti warisan-warisan lama. Sebelum dia meninggal,
dia menghasilkan sebuah karya yang disebut Ch’un-ts’in,
Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur, dan akhirnya Konfusius menghembuskan nafas
terakhirnya pada tahun 470 SM.
Gambaran mengenai
kehidupan dan kepribadian seorang Konfusius terdapat dalam laporan-laporan para
muridnya yang dihimpun dalam Lun Yu (Analekta
Kehidupan Konfusius), yang antara lain menyebutkan bahwa Konfusius adalah orang
yang mudah bergaul dan selalu tampak gembira, halus dan teliti, hormat,
menghargai orang lain dan lain sebagainya.
Dalam ajarannya Konfusius tidak pernah berbicara tentang
hal-hal yang metafisis dan abstrak, keajaiban, kekuatan, atau masalah
ketuhanan. Tetapi tidak ada keraguan-keraguan bahwa Konfusius percaya kepada
Tuhan dan bahwa
dia adalah seorang monoteis yang etis. Dia sendiri percaya bahwa kehendak Tuhan
telah dibukakan untuknya dan karena itu misinya adalah membuat kehendak
tersebut berlaku di duinia ini. [2]
Konfusius juga percaya bahwa dunia ini dibangun atas
dasar-dasar moral. Jika masyarakat secara moral rusak, maka tatanan alam
tersebut juga akan terganggu sehingga terjadilah perang, banjir, gempa dan
sebagainya. Dia juga percaya bahwa seseorang itu asalnya adalah baik dan akan
kembali ke sifat yang baik. Menurutnya orang juga tidak memerlukan juru
selamat, tetapi yang dibutuhkan oleh umat manusia adalah guru yang berbudi, dan
melakukan dengan sungguh-sungguh ajarannya, serta menjadi contoh teladan bagi orang-orang
lain, seperti yang telah diceritakan dalam Analekta 2:13 bahwa ‘Petama-tama dia memperaktekkan apa yang dia
ajarkan, dan kemudian mengajarkan apa yang dia peraktekkan’. Konfusius
sendiri menyatakan bahawa dirinya adalah seorang guru seperti tersebut yang
diangkat oleh Tuhan.
Ajarannya mengenai hal kesusialaan, Konfusius menekankan
perasaan berkawan atau timbal-balik, penanaman rasa simpati dan kerja sama, yang harus dimulai dari lingkungan
keluarga dan selanjutnya meluas setingkat demi setingkat meluas kedalam bidang
persekutuan yang lebih luas. Dia menekankan pentingnya lima hubungan manusia
yang pokok yang sudah menjadi tradisi masyarakat Cina pada waktu itu, yaitu :
1. Hubungan antara penguasa dan warga
negara
2. Hubungan ayah dan anak lelaki
3. Hubungan kakak laki-laki dan adik
laki-laki
4. Hubungan suami dan istri
5. Hubungan teman dengan teman
Konfusius melihat timbulnya kekacauan di Cina karena
pangeran tidak bertindak sebagai pangeran, warga negara tidak bertindak sebagai
warga negara, ayah tidak bertindak sebagai ayah, dan seterusnya. Menurutnya
langkah pertama ke arah transformasi dari dunia yang tidak teratur adalah
melakukan upaya agar setiap orang sadar akan tempatnya masing-masing, ‘Mungkin
perkataan atau perasaan timbal balik dapat berlaku. Jangan berbuat terhadap
orang lain, jika kamu tidak ingin orang berbuat terhadap kamu’(Analekta 15:24).
Selain itu, Konfusius menyatakan bahwa kabijakan yang harus
ditanamkan diatas semuanya adalah sifat Jen
yaitu sifat membersihkan hati manusia. Aspek tersebut bertujuan untuk
mempertahankan cita-cita Konfusius yang menyangkut penanaman hubungan manusia,
perkembangan kemampuan manusia, menghaluskan kepribadian sendiri, dan
menjunjung tinggi hak-hak manusia. ‘Tujuan Konfusius sendiri dalam menanamkan
sifat Jen dalam diri manusia adalah
agar mampu mempraktekkan lima kebijaksanaan di dunia menurut pandangan Jen, lima kebijaksanaan tersebut adalah
menghormat, keluhuran budi, ketulusan hati, ketekunan dan keramahtamahan’
(Analekta 17:16). Dia juga mengatakan bahwa Jen
tercapai karena juga mencintai orang
lain.[3]
Dalam ajaran Konfusius juga terapat tentang kenegaraan,
yaitu memajukan kesejahteraan rakyat sesuai denngan aturan-aturan Tuhan. Salah
satu pandangannya adalah ‘Bimbinglah rakyat dengan aturan-aturan pemerintah dan
periksalah dan aturlah mereka dengan ancaman hukuman, dan rakyat akan berusaha
untuk tinggal di luar penjara, tetapi tidak mempunyai perasaan, hormat atau
malu. Bimbinglah rakyat dengan kebijaksanaan atau periksalah atau aturlah
mereka dengan aturan-aturan tentang kesopanan, dan rakyat akan mempunyai
perasaan hormat dan menghormati’.
BAB II1
TINJAUAN FILSAFAT AJARAN
KONFUSIANISME
Aliran-aliran filsafat Konfusianisme muncul sejak zaman kuno
(600-200 SM), tepatnya bermula setelah Konfusius meninggal dunia, para
murid-murid Konfusius kemudian menempuh jalan sendiri-sendiri dalam menyebar
luaskan ajaran Konfusius. Namun karena mereka memberikan tekanan yang
berbeda-beda pada ajaran guru mereka, maka lambat laun muncul
perbedaan-perbedaan yang semakin lama semakin membesar karena masing-masing
mengembangkan menggunakan sistem pemikiran sendiri sesuai kepentingan dan
keyakinannya, akibat dari hal tersebut muncullah berbagai macam aliran
konfusianisme, diantaranya :
A. Konfusinisme
Yaitu suatu aliran yang terdiri dari orang-orang terpelajar
yang mempunyai keahlian di bidang kitab-kitab klasik. Kitab –kitab klasik yang
terpenting ada lima Wu Ching Chiang
meliputi, jitab sejarah (Shu Ching),
kitab syair (Shih Ching), kitab
perubahan (Ching), kitab adat (Li Chi), sejarah musim semi dan musim
gugur (Ch’un-ts’in). Selain itu pada
zaman ini terdapat aliran yang ajarannya berlawanan arah, yaitu :
1. Ajaran-ajaran Mencius
Mencius atau Men Ko, adalah
bentuk Latin dari nama Cina Meng Tsu, Tuan
Meng. Dia memberikan sumabangan yang sangat berarti terhadap ajaran Konfusius,
yaitu terletak dalam penekanannya pada pembawaan baik dalam sifat manusia.
Menurut pendapatnya, orang memiliki pembawaan yang baik sejak diahirkan, yaitu
:
a.
Jen, artinya
perikemanusiaan, murah hati, kecintaan. Dalam hubungan antarmanusia, Jen diwujudkan dalam Chung dan Shu.
b. Yi, yaitu berbudi,
keadilan atau kebenaran. Yi berarti keadaan “yang seharusnya” terjadi, kurang
lebih sama dengan imperatif kategoris. Setiap orang memperlakukan sesama dengan
kesusilaan dan bukan karena pertimbangan lain.
c. Li, yaitu tindakan
yang pantas, sopan santun, sesuai dengan keadaan. Tindakan lahir harus
dilakukan dalam harmoni dan keseimbangan. Seorang yang luhur, mengetahui bahasa
yang patut dipakai dan tingkah lakunya sesuai dengan maknanya. Konfusius
berusaha menyelaraskan kelakuan lahir dengan keluhuran batin.
d. Zhi, yaitu
kebijaksanaan. Pengetahuan diperoleh dengan mempelajari fakta-fakta dan
peristiwa fenomenal, tetapi kebijaksanaan itu berkembang dari pengalaman batin.
Yang paling bermutu dalam hidup adalah kebijaksanaan.
e. Xin, yang berarti
“percaya terhadap orang lain”. Dalam pergaulan sehari-hari, Konfusius terlebih
dahulu mendengarkan apa yang dilakukan orang dan mempercayai perbuatannya,
barulah sesudah itu ia mendengarkan sendiri perkataan orang itu dan mengamati
kelakuannya. Manusia bersandar pada kata-katanya, berarti bahwa jika manusia
konsisten dengan kata-katanya maka dia layak dipercaya.[4][4]
Problem yang mendapatkan perhatian khusus dari Mencius
adalah tentang pemerintah yang baik. Sebagai mana yang diajarkan Konfusius
bahwa pemerintah yang baik tidak bergantung pada kekuatan yang tanpa
perikemanusiaan, tetapi pada contoh yang baik yang dilakukan oleh sang
penguasa. ‘semua orang mempunyai hati yang tidak tahan bila melihat penderitaan
orang lain. Raja-raja kuno mempunyai hati yang haru ini, dan karenanya mereka
juga mempunyai pemerintahan yang bersifat haru. Selanjutnya penguasa dunia itu
sudah seperti memutar-mutarkan barang ditelapak tangan saja’. Dari konsep
tentang ‘pemerintahan yang baik ini’ muncul pengakuan Mencius tentang
pentingnya peranan rakyat dalam pemerintahan. Rakyat bukan saja akar dan dasar bagi pemerintahan
tetapi juga merupakan pengadilan terakhir bagi pemerintah yang tujuan utamanya
adalah untuk mendidik, memperkaya rakyat, dan memperbaiki kesejahteraan mereka
secara menyeluruh.
2.
Ajaran-ajaran Hsun Tzu
Hsun Tzu adalah seorang yang tidak percaya terhadap Tien (Tuhan) sebagai pribadi Tuhan. Menurutnya
Tien hanyalah tidak lebih dari pada hukum alam yang tidak berubah-ubah, dan
semua perubahan alam semesta, seperti gerakan bintang-bintang dan yang lainnya
merupakan pekerjaan dari hukum yang besar. Hsun Tzu juga berpendapat bahwa yang
bertangguang jawab atas kehidupan diri manusia adalah manusia itu sendiri,
termasuk juga kemakmuran atau bencana alam yang menimpanya. Seperti yang dia
katakan “Apabila sandang dan pangan disimpan dengan cukup dan digunakan secara
ekonomis, Tuhan
tidak akan dapat memiskinkan negara”. Dia juga menolak akan takhayul, seperti
ramalan mengenai nasibdan ilmu firasat.
Ide lainnya dari Hsun Tzu adalah bahwa sifat dasar manusia
itu jahat, dan bahwa kebaikan orang itu diperoleh dari lingkungannya. Dalam
hubungan ini dia membuat serangan langsung terhadap ajran-ajaran Mencius.
B.
Taoisme: Tao
te Chia
Yaitu suatu aliran yang terdiri dari orang-orang terpelajar
dan mengalami kekecewaan karena keadaan negara pada waktu itu mengalami
kemunduran, kemudian mereka menyadari dan hidup sebagai biarawan. Tokoh yang
terbesar dalam aliran ini adalah Chuang Tzu.
Pokok-pokok ajaran dari Tao
te Chia terutama mengenai metafisika dan filsafat sosial. Bukuyang dipakai
sebagai pegangan adalah Tao te Ching.
Tao artinya jalan, te artinya kebajikan dan Ching artinya kitab, Jadi Tao te Ching diartikan sebagai kitab
tentang atau petunjuk bagi manusia untuk sampai pada kebajikan.
C.
Aliran
Yin Yang: Yin Yang Chia
Yaitu suatu aliran yang dipelopori oleh orang-orang yang
pada mulanya mempunyai kedudukan penting dalam istana. Mereka itu ahli nujum
dan ilmu perbintangan, kemudian mereka menawarkan keahliannya kepada
masyarakat. Aliran ini pengaruhnya sangat besar di kemudian hari, bahkan secara
tidak langsung dapat dirasakan dewasa ini.
Menurut pandangan orang cina Yin dan Yang merupakan
dua prinsip pokok di alam semesta.Yin
adalah prinsip jantan seperti; bumi, bulan, air, hitam, kepasifan dan lain
sebagainya. Sedangkan Yang adalah
jika digabungkan akan memberikan pengaruh yang timbal balik dan akan terjadilah
semua peristiwa-peristiwa yang terdapat di alam semesta.
Yin dan Yang merupakan dua prinsip yang berlainan bukan berlawanan secara
kontradiktur, namun keduanya merupakan dua hal yang saling mengisi dan
melengkapi.
D.
Mohisme
atau Mo Chia
Yaitu suatu aliran yang terdiri dari kelompok kaum ksatria
yang telah kehilangan kedudukannya. Mereka menawarkan keahliannya di bidang
peperangan kepada penguasa baru. Tokoh dari Mo
Chia adalah Mo Tzu (479-381 SM).
Mohisme mempunyai disiplin yang ketat, hal itu karena adanya
pengaruh dari tokohnya Mo Tzu yang menuntut kepada murid-muridnya agar taat
kepada gurunya. Sikap Mo Tzu ini sedikit banyak dipengaruhi oleh keluarganya
yang berlatar belakang militer. Aliran mohisme ini di kemudian hari dikenal
sebagai aliran yang utilitaristis.
E.
Dialektisime
atau Ming Chia
Aliran Dialektisi dikenal juga dengan sebutan aliran
nama-nama (Scholl of Names). Aliran
ini dipelopori oleh orang-orang yang ahli dalam bidang debat dan pidato. Mereka
menyalurkan kepandaiannya kepada rakyat.
Mazhab ini tertarik dengan adanya
perbedaan antara apa yang mereka sebut dengan ‘nama-nama’ (names) dengan ‘fakta yang nyata’ (actualities).
F.
Legalisme:
Fa Chin
Yaitu suatu aliran yang dipelopori
oleh orang-orang yang ahli didalam bidang pemerintahan, mereka menawarkan
kepandaiannya kepada para penguasa di berbagai daerah. Mereka menjadi
penasihat-penasihat pemerintah dan mengajarkan teknik-teknik pemerintahan serta
hukum-hukum
Selanjutnya pada periode Chi (221-207 SM), munncul reaksi
yang kuat terhadap kebebasan berpikir yang timbul pada tahun-tahun sebelumnya.
Adalah kaisar Shih Huang Ti yang sangat berperan dalam reaksi ini, dia
mengontrol dan mengawasi pikiran rakyatnya dengan keras, membakar seluruh
tulisan pemikiran yang ada kecuali tulisan yang menyangkut obat-obatan,
ketuhanan dan pertanian. Akibatnya sejumlah besar buku-buku yang nenuat ajarab
Konfusius dibakar dan tidak kurang dari 460 sarjana dibunuh. Namun akhirnya
reaksi tersebut berakhir setelah periode selanjutnya yaitu pada masa dinasti
Han (206 SM-220M), kebasan berpikir muncul kembali dan Universitas Cina pertama
didirikan dengan maksud meneruskan cara-cara suci para penguasa kuno dan
mencapai kemajuan moral dan intelektual kekaisaran. Ajaran asli Konfusianisme
dihidupkan kembali bukan hanya sebagai pemikiran filsafat, tetapi sebagai agam
yang penuh dengan aspek-aspek sepiritual, moral dan kultural. Tokoh utama dalam
gerakan ini adalah Tung Chuang Shu yang berpendapat bahwa keunggulan manusia
dibandingkan makhluq-makhluq lainnya adalah terletak dalam kapasitasnya untuk
menerima wahyu dari Tuhan dan membentuk tindakan-tindakan dan sifat-sifatnya
sesuai dengan wahyu tersebut.
Di masa permulaan dinasti Han ini Konfusianisme dipastikan
mencapai kejayaannya, namun kamudian terdapat pertentangan yang tajam di
kalangan para pemikir ajaran Konfusius tentang penafsiran dari buku-buku klasik
dan status Konfusius sendiri. Di satu pihak muncul golongan yang meningkatkan
Konfusius sampai pada setatus Tuhan Penyelamat, sementara dilain pihak ada
golongan yang tetap memperthankan paham lama bahwa Konfusius hanyalah seorang
nabi atau guru. Selama periode ini golongan yang meningkatkan Konfusius sampai
kepada Tuhan Penyelamat berpengaruh
besar, sehingga pada permulaan tahun 59 M ditetapkan cara-cara untuk memuja
Konfusius, termasuk memberikan korban kepadanya di semua lembaga pendidikan
yang dikelola oleh pemerintah, dengan demikian Konfusius meningkat menjadi
semacam ‘Dewa Pendidikan’ pada saat itu. [5]
Keruntuhan dinasti Han diikuti denagan suatu periode
kekacauan moral yang berkepanjangan di Cina, Ajaran Konfusius sendiri
kehilangan tempat
dikalangan intelek yang beralih kepada ajaran Tao dan Budhisme, tetapi proses
pendewaan Konfusius masih berlanjut. Hingga pada abad pertengahan muncullah
aliran Li Hsuch Chia atau Neo
Konfusianisme, sekalipun para pengikut aliran ini adalah intelek dan
murid-murid sepiritual Konfusius tetapi pengikutnya tidak berusaha
memperthankan atau membangkitkan kembali ajaran yang murni dari Konfusius
tetapi hanya melakuan revisi terhada sistem etika, moral dan kepercayaan lama
berdasarkan perkembangan-perkembangan baru, hal itu terjadi karena pola pikir
mereka pada umumnya ditentukan oleh spekulasi para pengajar aliran Chan dan Zen.
BAB IV
PENUTUP
C. Kesimpulan
Tinjauan sejarah ajaran Konfusianisme bahwa Konfusius adalah
orang yang mudah bergaul dan selalu tampak gembira, halus dan teliti, hormat,
menghargai orang lain. Ajarannya mengenai hal kesusialaan, Konfusius menekankan
perasaan berkawan atau timbal-balik, penanaman rasa simpati dan kerja sama, yang harus dimulai dari lingkungan
keluarga. Selain itu, Konfusius menyatakan bahwa kabijakan yang harus
ditanamkan diatas semuanya adalah sifat Jen
yaitu sifat membersihkan hati manusia agar mampu mempraktekkan lima
kebijaksanaan di dunia menurut pandangan Jen,
lima kebijaksanaan tersebut adalah menghormat, keluhuran budi, ketulusan hati,
ketekunan dan keramahtamahan.
Sedangkan tinjauna filsafat ajaran
Konfusianisme ditandai dengan adanya aliran-aliran filsafat Konfusianisme yang
muncul sejak zaman kuno (600-200 SM), tepatnya bermula setelah Konfusius
meninggal dunia, para murid-murid Konfusius kemudian menempuh jalan
sendiri-sendiri dalam menyebar luaskan ajaran Konfusius. Aliran yang lahir pada waktu itu di
antaranya, konfusinisme, Taoisme: Thao te
Chia, Aliran Yin dan Yang: Yin Yang
Chia, Mohisme atau Mo Chia, Dialektisme
atau Meng Chia, Legalisme atau Fa Chin.
D. Saran-saran
Di dunia ini terdapat banyak keanika ragaman, termasuk
agama. Jadi, saran kami di sini kita sebagai mahluk beragama dan bersifat
sosial hendaklah saling menghormati antar umat beragama demi tercapainya
kedamaian dalam kehidupan dunia sekarang dan kedepannya.
E. Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, kritik dan saran dari
pembaca kami harapkan sebagai motifasi bagi kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah yang kemudian menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Sitompul. Agussalim, Daya. Burhanuddin, dkk, 1988, Agama-agama
di Dunia,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Pres.
Ø Joesoef Sou’yb, 1996, Agama-agama
Besar di Dunia,
Jakarta: Al Husna Zikra
Ø Fadiyanur, Filsafat Indonesia dan Cina
Ø Andosipayung, Filsafat Timur
Comments